Tuesday, February 24, 2015

PERJALANAN 36 JAM, MENGENAL INDONESIA LEBIH DEKAT DARI UJUNG TIMUR PESISIR UTARA JAWA TENGAH (bagian pertama)






27 Desember 2014 pukul 10:55
.....“this country, the Republic of Indonesia, does not belong to any group, nor to any religion, nor to any ethnic group, nor to any group with customs and tradition, but the property of all of us from Sabang to Merauke”..... (Sukarno)

.....“hanya satu negeri yang menjadi negeriku. Ia tumbuh dari karya, dan karya itu adalah usahaku” ..... (Rene de Clerq)

.....“pengajaran harus bersifat kebangsaan. Kalau pengajaran bagi anak-anak tidak berdasarkan kenasionalan, anak-anak tak mungkin mempunyai rasa cinta bangsa dan makin lama terpisah dari bangsanya, kemudian barangkali menjadi lawan kita”..... (Ki Hajar Dewantara)

.....“melumpuhkan suatu bangsa tidaklah sulit, butakan bangsa ini dari sejarah dan ilmu bumi Tanah Airnya, lantas tutup matanya agar tidak mampu memandang ke depan”..... (Sri Edi Swasono)

Ada waktu libur empat hari di penghujung tahun 2014 ini. Bagi sebagian orang yang banyak menghabiskan waktunya di kampus, empat hari terasa begitu panjang dan istimewa sehingga harus diisi dengan kegiatan blusukan – meminjam istilah bapak presiden. Satu pertanyaan yang kemudian timbul adalah “ke mana?”. Ada beberapa kemungkinan: Kepulauan Seribu, Nusakambangan, Taman Nasional Bali Barat, Madura, Bawean, Karimunjawa, atau Jepara. Akhirnya pilihan terakhir yang diambil, Jepara. Ada apa disana? Tentu ada yang sangat istimewa. Bukan hanya sekedar pemandangan indah dan keunikan sosial budaya, tapi lebih dari itu, ada jejak-jejak evolusi bumi yang bisa diikuti sejak dari ribuan tahun yang lalu hingga sekarang. Mari mengenal Indonesia dari sudut pandang yang berbeda.

Pertama, mari kita sejenak melihat ke belakang, sebentar saja, membuka kembali catatan sejarah orang-orang tua kita supaya tahu dimana sih istimewanya tanah yang terbentang diantara Demak dan Jepara, yang nanti akan banyak kita ceritakan.

Demak
Nama Demak diduga berasal dari kata Arab yaitu dhima yang artinya rawa, hal ini sesuai dengan pendapat Solichin Salam (Sunarto, 2004; Daliman 2012). Alkisah Raden Patah diperintah oleh gurunya yaitu Sunan Ampel dari Surabaya agar merantau ke arah barat dan bermukim di suatu tempat yang terlindung oleh gelagah wangi. Dalam rantauannya itu, Raden Patah sampai ke daerah rawa di tepi selatan Pulau Muryo, yaitu rawa-rawa besar yang menurut selat yang terdapat diantara Pulau Muryo dan daratan Jawa. Di daerah rawa itulah ditemukan gelagah wangi yang kemudian daerah itu dinamakan Demak hingga sekarang ini (Sunarto, 2014).

Sir Thomas Stamford Raffles (2014) juga menuliskan: dalam pengembaraannya ke arah barat Raden Patah membuka permukiman baru di tempat di mana ia dapat menemukan rerumputan berbau harum, yang dinamainya bintara. Rumput itu pada akhirnya dapat ia temukan di suatu tempat yang tidak mempunyai titik-titik wilayah yang kering, di suatu daerah rawa yang luas, yang menurut orang Jawa disebut demalakan yang kemudian disingkat menjadi demak. Tempat itu kemudian untuk pertama kalinya disebut bintara. Penuturan Raffles kurang lebih sama dengan yang tertulis dalam babad tanah jawi (Daliman, 2012).

Daliman (2012) lebih lanjut menjelaskan, kata demak berasal dari kata jawa kuno asli yang berarti anugerah atau pemberian. Dengan demikian Demak berarti tanah yang dianugerahkan atau diberikan oleh Majapahit, hal ini berdasarkan pada pendapat Slamet Muljana mengenai toponim Demak. Namun demikian prasasti penganugerahan tanah dari Prabu Brawijaya kepada Raden Patah, sebagaimana umumnya pemberian tanah yang disertai dengan pembuatan prasasti, hingga kini belum diketemukan. Jadi dalam kaitannya dengan nama bintara, Demak bukan berasal dari kata Arab “dama” yang berarti air mata, ataupun “dima” yang berarti rawa-rawa.

Lalu bolehkan kita menggunakan hermeneutika geomorfologis untuk memaknai Demak (pemberian) sebagai tanah yang terbentuk karena pemberian Gunung Muria dan Pegunungan Kendeng lewat Sungai Serang (dan Sungai Juwana)? Sebagaimana Herodotus dengan ucapannya yang terkenal “Mesir adalah hadiah Sungai Nil”. Mari kita lanjutkan dahulu cerita tentang lahan rendah Demak-Jepara pada masa lampau. Pannekoek (1949) menyebutnya sebagai lahan rendah Serang-Juwono, karena perkembangannya tidak lepas dari aktivitas fluvial Sungai Serang yang mengalir ke arah barat dan Sungai Juwono yang mengalir ke arah timur.

Lahan rendah antara Demak dan Jepara: Hadiah (?) dari Sungai Serang
Lahan rendah Serang-Juwono semula merupakan selat diantara Pulau Gunungapi Muria dan Pegunungan Rembang. Jaman dahulu Distrik Demak terletak di pantai selat yang memisahkan Gunungapi Muria dari Pulau Jawa. Pada abad ke-10 Gunungapi Muria merupakan sebuah pulau di utara Demak, yang semula termasuk wilayah Medang Kamulan, yang terletak di Teluk Lusi. Selat itu rupanya agak lebar dengan perairannya yang tenang dan dapat dilayari dengan baik. Kapal-kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas berlayar melalui Demak terus ke Rembang. Pada abad ke-15 Demak telah menjadi tempat penimbunan perdagangan padi yang berasal dari daerah-daerah pertanian di sebelah menyebelah selat tersebut. Tetapi sudah sejak abad ke-17 jalan pintas itu tidak dapat dilayari setiap saat, hanya selama musim penghujan saja orang dapat berlayar dengan sampan melewati tanah yang tergenang, mulai dari Jepara sampai ke Pati di tepi Sungai Juwana (Sunarto, 2004; Daliman, 2012).

Berita dari Tome Pires juga menjelaskan bahwa Demak terletak di tepi sebuah sungai dan tidak jauh dari pantai. Sungai tersebut penting bagi kegiatan pelayaran dan perdagangan, namun kapal-kapal dari luar memang tidak dapat masuk melayarinya, kecuali bila air laut sedang pasang. Demak sendiri terletak di sebuah pulau, di antara rawa-rawa yang dapat dilayari dengan perahu dari laut. Begitu banyak sungai yang bermuara di kawasan Selat Muria ini sehingga cepat sekali mengalami pendangkalan sebagai akibat dari kuatnya proses sedimentasi (Sunarto, 2004).

Bagaimana Selat Muria bisa hilang dan berkembang sebagai dataran rendah sebagaimana yang dijumpai saat ini? Sunarto (2004) dari hasil penelitiannya menjelaskan paleogeomorfologi wilayah Selat Muria sebagai berikut:
Selat muria adalah selat yang relatif tenang dengan energi gelombang yang rendah sehingga banyak lumpur yang terendapkan membentuk rataan lumpur (mudflat), hal ini disebabkan oleh letak Selat Muria sendiri yang terapit oleh dua pulau. Rataan lumpur merupakan bentuklahan marin yang sesuai untuk habitat mangrove karena materialnya lumpur dan dipengaruhi oleh pasang surut. Selama pelumpuran di Selat Muria ini berlangsung, pertumbuhan mangrove semakin berkembang pula. Indikator wilayah ini sebagai lingkungan marin juga dikenali dari keberadaan cangkang moluska dari klas Gastropoda dan klas Bivalvia. Banyak cangkang moluska yang ditemukan dan merupakan salah satu jenis Gastropoda (keong/siput) yang hidup di dasar pantai berlumpur dengan air payau, terutama menempel di dahan dan batang pohon bakau. Dapat disimpulkan bahwa pada kala Pleistosen Bawah Gunungapi Muria masih berupa pulau yang terpisah dari Pulau Jawa. Keadaan ini sangat mungkin karena pada kala itu di Kenya (Afrika) terjadi genang laut hingga + 60 mdpal dari sekarang yang tentunya juga melanda seluruh dunia termasuk Laut Jawa. Menjelang akhir Pleistosen Bawah dan Pleistosen Tengah terjadi susut laut, pada saat inilah terjadi erosi darat secara kuat dan terendapkan di dasar laut. Kejadian yang berlangsung di Selat Muria adalah sedimentasi lempung Laguno Marin.

Deposisi lumpur masih berlangsung sampai sekarang, dalam perjalanan ini kami masih dapat mengamatinya di sekitar Delta Wulan. Beberapa jenis siput yang dijelaskan di atas juga masih dijumpai terutama pada ekosistem mangrove yang dikelola sebagai tambak di Delta Wulan. Sungai Serang di muaranya membentuk delta yang luas. Mula-mula sungai ini membentuk percabangan ke kiri dan kanan, kami mengikuti cabang ke kanan yang lebih kecil tetapi nampaknya mengalirkan lumpur yang lebih pekat. Sepeda motor hanya mampu menjangkau hingga jalan setapak beberapa ratus meter dari rumah terakhir yang belakangan kami duga sebagai tempat rehabilitasi penderita gangguan kejiwaan (masih dugaan), berdasarkan pengalaman beberapa teman yang diintimidasi beberapa orang yang kurang dapat berkomunikasi dengan baik dan perilakunya aneh. beberapa teman lainnya mendapatkan tugas untuk mengeksplorasi delta wulan sampai menemukan pantai. Berdasarkan hasil bertanya kepada penjaga tambak, ada dua pilihan untuk tiba di pantai yaitu mencapai ujung delta yang jaraknya lima kilometer atau melipir ke kanan dan menemukan pantai yang "hanya" berjarak dua tambak dari percabangan kanan Sungai Serang. Kami memilih opsi kedua, berjalan di pematang tambak yang berlumpur pekat, sesekali menyibak dedaunan mangrove dan ternyata satu tambak panjangnya lebih dari 500 meter...

"Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya" 


Referensi:





Daliman, A. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ombak
Pannekoek, A.J. 1949. Outline of the Geomorphology of Java. Leiden: E.J. Brill
Raffles, T.S. 2014. The History of Java. Yogyakarta: Narasi
Sunarto. 2004. Perubahan Fenomena Geomorfik di Daerah Kepesisiran di Sekeliling Gunungapi Muria Jawa Tengah, Kajian Paleogeomorfologi. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada